Tinjauan terhadap Ilmu Keperilakuan
: Dalam Perspektif Akuntansi
1.
Akuntansi
adalah tentang manusia
Berdasarkan
pemikiran perilaku, manusia dan faktor sosial sesungguhnya didesain secara
jelas dalam aspek-aspek operasional utama dari seluruh sistem akuntansi. Namun
selama ini belum pernah ada yang
melihatnya dari sudut pandang semacam itu dan para akuntan belum pernah ada
yang mengoperasikan perilaku pada sesuatu yang vakum.
2.
Akuntansi
adalah tindakan
Dalam
organisasi semua anggota mempunyai peran yang harus dimainkan guna mencapai tujuan
organisasi. Peran tersebut bergantung pada besarnya porsi tanggungjawab dan
rasa tanggungjawab anggota tersebut terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Pencapaian tujuan dalam bentuk kuantitatif juga merupakan salah satu bentuk
tanggung jawab anggota organisasi dalam memenuhi keinginannya untuk mencapai
tujuan dan sasaran organisasi.
A.
Dimensi
Akuntansi Keperilakuan
Informasi
ekonomi dapat ditambah dengan tidak hanya melaporkan data-data keuangan saja,
tetapi juga data-data nonkeuangan yang terkait dengan proses pengambilan
keputusan.
1. Lingkup
Akuntansi Keperilakuan
Akuntansi
keperilakuan berada dibalik akuntansi tradisional yang berarti mengumpulkan,
mengukur, mencatat dan melaporkan informasi keuangan. Dengan demikian, dimensi
akuntansi berkaitan dengan perilaku manusia dan juga dengan desaian,
konstruksi, serta penggunaan suatu system informasi akuntansi yang efisien.
Akuntansi keperilakuan dengan mempertimbangkan hubungan antara perilaku manusia
dengan sistem akuntansi mencerminkan dimensi sosial dan budaya manusia dalam
suatu organisasi.
Secara
umum, lingkup dari akuntansi keperilakuan dapat dibagi menjadi tiga bidang
besar.
a. Pengaruh
perilaku manusia berdasarkan desain, konstruksi, dan penggunaan system
akuntansi. Bidang dari akuntansi keperilakuan ini mempunyai kaitan dengan sikap
dan filosofi manajemen yang memengaruhi sifat dasar pengendalian akuntansi yang
berfungsi dalam organisasi.
b. Pengaruh
system akuntansi terhadap perilaku manusia. Bidang dari akuntansi keperilakuan
ini berkenaan dengan bagaimana system akauntansi memengaruhi motivasi,
produktivitas, pengambilan keputusan , kepuasan kerja, serta kerja sama.
c. Metode
untuk memprediksi dan strategi untuk mengubah perilaku manusia. Bidang
ketiga dari akuntansi keperilakuan ini
mempunyai hubungan dengan cara system akuntansi digunakan sehingga memengaruhi
perilaku.
2. Akuntansi
Keperilakuan : Perluasan Logis dari Peran Akuntansi Tradisional
Para akuntan yang
berkualitas akan memilih gejala keperilakuan untuk melakukan penyelidikan,
karena mereka mengetahui bahwa data keperilakuan sangat berarti untuk
melengkapi data keuangan.
B.
Lingkup
dan Sasaran Hasil Ilmu Keperilakuan
Bernard
Berelson dan G.A Stainer menjelaskan secara singkat mengenai definisi
keperilakuan, yaitu sebagai suatu riset ilmiah yang berhadapan secara langsung
dengan perilaku manusia. Definisi ini menangkap permasalahan inti dari ilmu
keperilakuan, yaitu riset ilmiah dan perilaku manusia.
C.
Lingkup
dan Sasaran Hasil Dari Akuntansi Keperilakuan
Pada
masa lalu, para akuntan semata-mata fokus pada pengukuran pendapatan dan biaya
yang mempelajari pencapaian kinerja perusahaan di masa lalu guna memprediksi
masa depan. Mereka mengabaikan fakta bahwa kinerja masa lalu adalah hasil masa
lalu dari perilaku manusia dan kinerja masa lalu itu sendiri merupakan suatu
faktor yang akan mempengaruhi perilaku di masa depan. Mereka melewatkan fakta
bahwa arti pengendalian secara penuh dari suatu organisasi harus diawali dengan
memotivasi dan mengendalikan perilaku, tujuan, serta cita-cita individu yang
saling berhubungan dalam organisasi.
- Persamaan dan Perbedaan Ilmu Keperilakuan dan Akuntansi Keperilakuan
Ilmu
keperilakuan mempunyai kaitan dengan penjelasan dan prediksi keperilakuan manusia.
Akuntansi keperilakuan menghubungkan antara keperilakuan manusia dengan
akuntansi. Ilmu keperilakuan merupakan bagian dari ilmu sosial, sedangkan
akuntansi keperilakuan merupakan bagian dari ilmu akuntasi dan pengetahuan
keperilakuan. Namun ilmu keperilakuan dan akuntansi keperilakuan sama-sama
menggunakan prinsip sosiologi dan psikologi untuk menilai dan memecahkan
permasalahan organisasi.
- Perspektif Berdasarkan Perilaku Manusia : Psikologi, Sosiologi dan Psikologi Sosial
Menurut
Robbins (2003), Ketiga hal tersebut, yaitu psikologi, sosiologi dan psikologi
sosial menjadi kontribusi utama dari ilmu keperilakuan. Ketiganya melakukan
pencarian untuk menguraikan dan menjelaskan perilaku manusia, walaupun secara
keseluruhan mereka memiliki perspektif yang berbeda mengenai kondisi manusia.
terutama merasa tertarik dengan bagaimana cara individu bertindak. Fokusnya
didasarkan pada tindakan orang-orang ketika mereka bereaksi terhadap stimuli
dalam lingkungan mereka, dan perilaku manusia dijelaskan dalam kaitannya dengan
ciri, arah dan motivasi individu. Keutamaan psikologi didasarkan pada seseorang
sebagai suatu organisasi.
Psikologi,
merupakan ilmu pengetahuan yang berusaha mengukur, menjelaskan dan kadang
mengubah perilaku manusia. Para psikolog memperhatikan studi dan upaya memahami
perilaku individual. Mereka yang telah menyumbangkan dan terus menambah
pengetahuan tentang perilaku organisasional teoritikus pembelajaran, teoritikus
keperibadian, psikologi konseling dan psikologi industri dan organisasi.
Bila
psikologi memfokuskan perhatian mereka pada individu, sosiologi mempelajari
sistem sosial di mana individu-individu mengisi peran-peran mereka, jadi
sosiologi mempelajari orang-orang dalam hubungan dengan manusia-manusia
sesamanya. Secara spesifik, sosiolog telah memberikan sumbangan mereka yang
terbesar kepada perilaku organisasi melalui studi mereka terhadap perilaku
kelompok dalam organisasi, terutama organisasi yang formal dan rumit. Beberapa
bidang dalam perilaku organisasi yang menerima masukan yang berharga dari para
sosiolog adalah dinamika kelompok, desain tim kerja, budaya organisasi,
teknologi organisasi, birokrasi, komunikasi, kekuasaan dan konflik.
Psikologi
sosial, adalah suatu bidang dalam psikologi, tetapi memadukan konsep-konsep
baik dari psikologi maupun sosiologi yang memusatkan perhatian pada perilaku
kelompok sosial. Penekanan keduanya adalah pada interaksi antara orang-orang
dan bukan pada rangsangan fisik. Perilaku diterangkan dalam hubungannya dengan
ilmu sosial, pengaruh sosial dan ilmu dinamika kelompok. Disamping itu para
psikologi sosial memberikan sumbangan yang berarti dalam bidang-bidang
pengukuran, pemahaman, dan perubahan sikap, pola komunikasi, cara-cara dalam
kegiatan dapat memuaskan kebutuhan individu dan proses pengambilan keputusan
kelompok.
Kita
sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang berkaitan
dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya. Dan
kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan kemasyarakatan.
Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental, perilaku, dan
dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu. Sosiologi
lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang keduanya
mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu tersebut
bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial.
Dengan
demikian para psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para
sosiolog. Namun karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan
menekankan pengaruh situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal -
persepsi, kognisi, emosi, dan sejenisnya. Sedangkan para sosiolog akan lebih
menekankan pada bagaimana budaya dan struktur sosial mempengaruhi perilaku dan
interaksi para individu dalam konteks sosial, dan lalu bagaimana pola perilaku
dan interaksi tadi mengubah budaya dan struktur sosial. Jadi psikologi akan
cenderung memusatkan pada atribut dinamis dari seseorang; sedangkan sosiologi
akan mengkonsentrasikan pada atribut dan dinamika seseorang, perilaku,
interaksi, struktur sosial, dan budaya, sebagai faktor-faktor yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya
- Beberapa Hal Penting Dalam Perilaku Organisasi
Ada
beberapa teori perilaku organisasional yang mencerminkan inti yang ditangani
oleh teori-teori, yaitu :
1. Teori Peran
Walau
Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan
peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah
mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam
terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman
bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai
dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar
seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang
mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya
adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya. Perilaku
ditentukan oleh peran sosial
Kemudian,
sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran.
Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat
mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu
sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah
ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan
belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada
usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda.
Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia
tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan
“tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita
dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di
mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.
2. Struktur Sosial
Telah
kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam
hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial
seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena
kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua
tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara
masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada
penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan
individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat atau
struktur sosial. Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan
interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur
sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi
berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita
mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya
dampak struktur sosial atas "diri" (self) - perasaan kita terhadap
diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri (self).
Sosiolog
lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat
mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan
individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah
kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru,
mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita
tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang
melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori
Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme.
3. Budaya
Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuiakan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya
adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur
sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa
alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit
nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan
atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk
berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di
Amerika, "keselarasan individu dengan alam" d Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa
tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang
layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan
pertalian dengan hidup mereka.
Dengan
demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku
orang lain.
4.Komitmen Organisasi
Komitmen
organisasi adalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak
organisasi tertentu serta tujuan tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi tersebut. Menurut Robbins (2003), didefinisikan
bahwa keterlibatan pekerjaaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan
tertentu seseorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi
berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Dalam organisasi
sekolah guru merupakan tenaga profesional yang berhadapan langsung dengan
siswa, maka guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik mampu menjalankan
kebijakan-kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai komimen yang
kuat terhadap sekolah tempat dia bekerja.
Menurut
L. Mathis-John H. Jackson, komitmen organisasi adalah tingkat sampai dimana
karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk
tinggal bersama atau meninggalkan perusahaan pada akhirnya tercermin dalam
ketidakhadiran dan angka perputaran karyawan.
Menurut
Griffin, komitmen organisasi (organisational commitment) adalah sikap yang
mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada
organisasinya. Seseorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan
akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi.
Menurut
Luthan (1998), komitmen organisasi didefinisikan sebagai :
- keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu;
- keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan
- keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.
Dengan
kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada
organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan
perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang
berkelanjutan
Menurut
Allen dan Meyer (1991), ada tiga Dimensi komitment organisasi adalah :
1) Komitmen
afektif (affective comitment): Keterikatan emosional karyawan, dan keterlibatan
dalam organisasi,
2) Komitmen
berkelanjutan (continuence commitment): Komitmen berdasarkan kerugian yang
berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin karena
kehilangan senioritas atas promosi atau benefit,
3) Komitmen
normatif (normative commiment): Perasaan wajib untuk tetap berada dalam
organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar
yang harus dilakukan.
Dessler
memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang
mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada
diri karyawan :
- Berkomitmen pada nilai manusia: Membuat aturan tertulis, memperkerjakan menejer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
- Memperjelas dan mengkomukasikan misi : Memperjelas misi dan ideologi; berkharisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai dan pelatihan; membentujk tradisi,
- Menjamin keadilan organisasi: Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang koprehensif; menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif,
- Menciptakan rasa komunitas: Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim, berkumpul bersama,
- Mendukung perkembangan karyawan: Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Komitmen Organisasi
Mardiana
(2004) mengemukakan komitmen yang dimiliki oleh seorang karyawan terhadap
organisasi atau perusahaan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :
1) Karakteristik
individu, Karakteristik individu merupakan gambaran dari pribadi seseorang yang
dibawa dalam tatanan organisasi, dalam dunia kerja dan memiliki kecenderungan
untuk selalu berkembang dan mempengaruhi dalam melaksanakan aktivitas
pekerjaan. Karakteristik individu disini dapat berupa minat, sikap, kebutuhan,
tingkat pendidikan dan motif berprestasi.
2) Karakteristik
pekerjaan, Karakteristik pekerjaan dapat berupa variasi kecakapan, identitas
tugas,tugas, otonomi dan umpan balik.
3) Pengalaman
kerja., Pengalaman kerja merupakan suatu ukuran lamanya seseorang bekerja di
suatu organisasi atau instansi, semakin lama seseorang bekerja pada suatu
organisasi, maka orang tersebut dapat dikatakan semakin berpengalaman dan
dengan pengalaman tersebut diharapkan seseorang dapat lebih produktif dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Mowday,
Porter dan Steers (Sjabadhyni, Graito dan Wutun, 2001) mengemukakan hal-hal
yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi antara lain karakteristik pribadi,
karakteristik yang berkaitan dengan peran, karakteristik struktural dan
pengalaman kerja. Lebih lanjut, Morrow (Prayitno, 2005) menyebutkan komitmen
organisasi dipengaruhi antara lain :
1) Karakteristik
personal yang berupa usia, masa kerja dan pendidikan.
2) Fungsi
situasional yang berhubungan dengan lingkungan kerja seperti konflik peran dan iklim
organisasi.
3) Marchington
(Kurniawan, 2006) menyebutkan lima faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi
yaitu :
4) Kondisi
fisik lingkungan kerja.
5) Perasaan
atau keinginan untuk bekerja pada pemimpin atau perusahaan yang baik.
6) Rasa
aman dalam bekerja, dalam hal ini terkait dengan munculnya kondisi job
insecurity yang dirasakan oleh karyawan.
7) Pembayaran
upah.
8) Penghargaan
atau peluang dalam bekerja.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan kepada organisasi
dipengaruhi oleh faktor individu yang bersangkutan dan faktor lingkungan kerja
atau organisasi. Faktor yang berkaitan dengan diri individu seperti minat,
sikap, tingkat pendidikan dan motif berprestasi serta pengalaman kerja. Faktor
yang berkaitan dengan lingkungan kerja atau organisasi seperti kondisi fisik
lingkungan kerja, konflik peran yang dialami oleh karyawan dan rasa aman dalam
bekerja, dalam hal ini terkait dengan munculnya kondisi job insecurity yang
dirasakan karyawan.
Aspek-aspek Komitmen Organisasi
Steers
(Kuntjoro, 2002) mengemukakan terdapat tiga aspek utama dari komitmen
organisasi yaitu :
- Identifikasi, Identifikasi merupakan bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para pegawai atau dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula.
- Keterlibatan, Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja, penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan mereka akan mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesame teman kerja. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memancing keterlibatan pegawai adalah keikut sertaan pegawai dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan sehingga menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama.
- Loyalitas, Loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun dari organisasi. Kesediaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi tempat pegawai tersebut bekerja.
5. Konflik Peran
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat
pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Maramis
(1994) mengemukakan konflik terjadi apabila seseorang tidak dapat memilih
antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan. Puspa dan Riyanto (1999)
menyatakan konflik peran merupakan suatu gejala psikologis yang dialami oleh
anggota organisasi yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan
secara potensial akan menurunkan motivasi kerja karyawan. Brief (Andraeni,
2005) mendefinisikan konflik peran adalah adanya ketidak cocokan antara
harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Lebih lanjut, Leigh
(Andraeni, 2005) menyatakan bahwa konflik peran merupakan hasil dari
ketidakkonsistenan harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan
antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya.
Sebagai akibatnya, individu yang mengalami konflik peran berada dalam suasana
terombang-ambing, terjepit dan serba salah. Indrawijaya (2000) menyebutkan
konflik peran merupakan kondisi yang terjadi bila seseorang melakukan berbagai
macam peranan dimana kondisi tersebut terjadi karena tekanan yang datang dari
luar diri seseorang misalnya dari orang yang ada kaitan hierarki seperti dari
pimpinan, kolega yang setingkat dan dari bawahan atau bahkan dari orang luar
organisasi seperti teman separtai, kerabat atau keluarga.
Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik peran merupakan
suatu gejala psikologis yang dialami oleh anggota organisasi sebagai hasil dari
ketidak konsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya
ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilainilai individu dan
tekanan baik yang berasal dari luar individu maupun yang berasal dari orang
luar organisasi atau perusahaan.
Jenis-jenis Konflik Peran
Gibson,
Ivancevich dan Donnelly (1996) mengemukakan bahwa konflik peran dapat dibagi
menjadi tiga macam antara lain :
- Konflik peran pribadi (person role conflict), Konflik peran pribadi terjadi ketika persyaratan-persyaratan peran melanggar nilai dasar, sikap dan kebutuhan individu yang menduduki posisi tersebut. Sebagai contohnya seorang penyelia yang mendapatkan kesulitan untuk memecat bawahannya karena soal keluarga, atau seorang eksekutif yang lebih senang mengundurkan diri daripada melakukan kegiatan yang tidak pantas.
- Konflik intra peran (intra role conflict) Konflik intra peran terjadi apabila beberapa orang yang berbeda-beda menentukan sebuah peran menurut rangkaian harapan yang berbeda-beda sehingga tidak mungkin bagi orang yang menduduki peran tersebut untuk memenuhi semuanya. Hal ini mungkin akan terjadi apabila peran tertentu mempunyai serangkaian peran yang kompleks, dalam arti banyak hubungan peran yang berbeda-beda. Sebagai contohnya seorang penyelia di situasi industri mempunyai serangkaian peran yang agak kompleks sehingga dapat mengalami konflik intra peran.
- Konflik antar peran (inter role conflict) Konflik antar peran muncul karena orang menghadapi berbagai peran. Hal ini terjadi karena individu sekaligus memainkan banyak peran, beberapa diantara peran ini mempunyai harapan yang saling bertentangan. Sebagai contohnya seorang ilmuwan yang bekerja di pabrik kimia, yang juga merangkap menjadi anggota manajemen, mungkin mengalami konflik peran semacam ini.
Dalam
situasi tersebut, ilmuwan tersebut mungkin diharapkan berperilaku sesuai dengan
harapan manajemen maupun sesuai dengan harapan ahli kimia profesional.
Miles dan Perreault (Munandar,
2001) membedakan empat jenis konflik peran yaitu :
-
Konflik
peran pribadi, muncul bilamana seorang karyawan ingin
melakukan tugas berbeda dari yang disarankan dalam uraian pekerjaannya.
-
Konflik
intra sender, muncul bilamana seorang karyawan
menerima penugasan tanpa memiliki tenga kerja yang cukup untuk dapat
menyelesaikan tugas dengan berhasil.
-
Konflik
inter sender, muncul bilamana seorang karyawan
diminta untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga terdapat orang merasa puas
dengan hasilnya, sedangkan orang lain tidak.
-
Konflik
peran dengan beban berlebih, muncul bilamana seorang karyawan
mendapat penugasan kerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ditangani secara
efektif.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan jenis-jenis konflik peran dapat dibagi
menjadi konflik peran pribadi, konflik intra peran dan konflik antar peran.
Konflik peran pribadi terjadi apabila persyaratan peran melanggar nilai dasar,
sikap dan kebutuhan individu yang menduduki suatu posisi. Konflik intra peran
terjadi apabila beberapa orang yang berbeda-beda menentukan sebuah peran
menurut rangkaian harapan yang berbeda-beda. Konflik antar peran muncul karena
orang menghadapi berbagai peran.
Penyebab Konflik Peran
Pasewark
dan Strawser (Ratnawati dan Kusuma, 2002) mengemukakan konflik peran terjadi
karena adanya lebih dari satu permintaan dari sumber yang berbeda yang
menimbulkan suatu ketidak pastian pada karyawan. Indrawijaya (2000)
mengemukakan bahwa konflik peran dapat disebabkan oleh adanya :
- Konflik fungsional merupakan konflik peran yang terjadi oleh adanya berbagai macam subsistem dalam organisasi. Setiap sub sistem yang mempunyai fungsi tertentu dalam suatu organisasi cenderung melahirkan norma kelompok (norma hubungan sosial, norma kerja dan norma kekuasaan) dan membentuk sistem nilai tertentu. Konflik fungsional dapat juga terjadi karena adanya ketidak cocokan tugas atau tujuan yang harus dicapai. Schmidt dan Kochan (Indrawijaya, 2000) menyatakan bahwa persepsi mengenai adanya ketidak cocokan tugas atau tujuan yang harus dicapai merupakan penyebab terciptanya konflik peran.
- Konflik hierarkis merupakan keadaan dimana suatu kelompok mendapatkan tekanan dari luar. Tekanan dari luar tersebut dapat berupa penyediaan anggaran, pemberian status dan persetujuan pengangkatan pegawai.
- Konflik kesamaan fungsi merupakan konflik yang timbul oleh adanya kesamaan fungsi yang harus dilakukan oleh berbagai anggota kelompok sehingga dapat pula menghasilkan perilaku persaingan yang cukup sehat.
Wolfe
dan Snoke (Cahyono dan Ghozali, 2002) mengemukakan konflik peran timbul karena
adanya dua perintah yang berbeda yang diterima secara bersamaan dimana
pelaksanaan salah satu perintah saja akan mengakibatkan terabaikannya perintah
yang lain. Seorang profesional dalam melaksanakan tugasnya terutama ketika
menghadapi suatu masalah tertentu maka sering menerima dua perintah sekaligus.
Perintah pertama datangnya dari kode etik profesi sedangkan perintah kedua
datangnya dari sistem pengendalian yang berlaku di perusahaan. Apabila seorang
profesional bertindak sesuai dengan kode etiknya maka individu yang
bersangkutan akan merasa tidak berperan sebagai karyawan perusahaan dengan
baik. Sebaliknya, apabila seorang professional bertindak sesuai dengan prosedur
yang ditentukan perusahaan maka individu yang bersangkutan akan merasa telah
bertindak secara tidak profesional.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik peran muncul oleh karena adanya
dua perintah yang berbeda yang diterima oleh seorang karyawan secara bersamaan
dimana dalam pelaksanaan salah satu perintah akan mengakibatkan terabaikannya
perintah yang lain sehingga dapat menimbulkan suatu ketidak pastian pada diri
karyawan.
6. Konflik Kepentingan
Konflik
kepentingan adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang memerlukan
kepercayaan, seperti pengacara, politikus, eksekutif atau direktur suatu
perusahaan, memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan.
Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan
tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak
menimbulkan tindakan yang tidak etis atau tidak pantas. Suatu konflik
kepentingan dapat mengurangi kepercayaan terhadap seseorang atau suatu profesi.
Menurut
prinsip manajemen yang dikemukakan oleh Henry Fayol (1914), kepentingan pribadi
atau kelompok harus tunduk kepada kepentingan organisasi secara keseluruhan.
Maka sudah sangat dipahami bila dalam praktek bisnis, demi kepentingan orang
yang lebih banyak atau organisasi, manajemen harus memutuskan hubungan kerja
dengan seorang atau beberapa orang karyawan, walaupun karyawan tersebut mungkin
telah selama puluhan tahun ikut serta dalam mengembangkan dan membesarkan
perusahaan. Karena menganut pandangan bahwa urusan pribadi harus dipisahkan
dari bisnis serta bahwa kepentingan perusahaan harus lebih didahulukan daripada
pribadi, maka banyak eksekutif yang sukses dalam memimpin danmengatur
perusahaan, tetapi gagal dalam memimpin dan mengatur keluarga.
Banyak
bukti riset yang menunjukkan bahwa konflik kepentingan pekerja dan keluarga
sangat merugikan karyawan dan perusahaan. Konflik kerja dan keluarga cenderung
berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan. Hasil-hasil riset tersebut
merekomendasikan perlunya manajemen perusahaan untuk mengambil kebijakan yang
menginterpretasikan kepentingan pekerjaan dengan kepentingan pribadi.
7. Pemberdayaan Karyawan
Perberdayaan
karyawan berarti penciptaan sebuah lingkungan di mana karyawan memiliki
wewenang yang lebih untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dengan konsekuensi
mereka bertanggungjawab atas hasil penciptaan sebuah lingkungan karyawan dimana
karyawan memiliki wewenang yang lebih banyak untuk menyelesaikan pekerjaan
mereka dengan konsekuensi mereka bertanggungjawab atas hasil pekerjaan
tersebut.
Mas’ud
(2002) menuliskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong organisasi
dalam melaksanakan pemberdayan. Beberapa di antaranya adalah tuntutan pelanggan
yang semakin tinggi terhadap kualitas produk maupun layanan, jaminan keamanan,
perlindungan konsumen, persaingan dalam efisiensi dan inovasi produk,
penggunaan teknologi baru yang canggih, peraturan pemerintah dan lain
sebagainya. Apabila organisasi melaksanakan pemberdayaan karyawan, maka berarti
bahwa karyawan tersebut diperlakukan sesuai denga teori Y, artinya pimpinan
organisasi tersebut menganut paham atau cara pandang bahwa karyawan di
perusahaan tersebut adalah karyawan yang mempunyai kaeakteristik yang pada
umumnya positif.
Akan
tetapi dalam kenyataannya, terdapat banyak pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan pemberdayaan dan bagaimana cara untuk melakukan pemberdayaan.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya defenisi atau pengertian yang diberikan oleh
para ahli di berbagai literatur. Namun, terdapat kesamaan dalam hal maksud
dilakukannya pemberdayaan dalam organisasi, yaitu antara lain untuk :
1. Meningkatkan
motivasi guna mengurangi kesalahan dan mendorong karyawan untuk bertanggung
jawab terhadap tindakannya.
2. Meningkatkan
dan mengembangkan kreativitas dan inovasi.
3. Mendorong
peningkatan kualitas produk dan jasa.
4. Meningkatkan
kepuasan pelanggan dengan mendekatkan karyawan terhadap pelanggan, sehingga
karyawan dapat melayani dengan lebih baik.
5. Meningkatkan
kesetiaan pada saat yang sama mengurangi tingkat kemangkiran.
6. Mendorong
kerja sama yang lebih baik dengan sesama rekan kerja dalam meningkatkan
pengawasan dan produktivitas.
7. Mengurangi
tugas pengawasan (pengendalian) dari manajemen menengah dalam pekerjaan
operasional sehari-hari, sehingga para manajer lebih mempunyai waktu dan
perhatian terhadap masalah-masalah yang lebih besar.
8. Menyiapkan
karyawan untuk berkembang dan menghadapi perubahan dan tuntutan persaingan.
9. Meningkatkan
daya saing bisnis.
Untuk melaksanakan pemberdayaan tersebut,
biasanya organisasi kemudian menyususun dan menentukan visi serta misi
organisasi. Disampingi itu, perusahaan melaksanakan pula rencana strategis dan
berbagai macam pelatihan yang berkaitan dengan pemberdayaan karyawan, seperti :
membangun kerja sama tim, pemberdayaan kepemimpinan dan motivasi, kepekaan
emosional di tempat kerja, peningkatan kualitas terus-menerus, pelatihan
ketrampilan khusus yang berkaitan dengan pekerjaan dan lain sebagainya.Sumber :
Ikhsan,
Arfan, dan Muhammad Ishak, 2005, "Akuntansi Keperilakuan," Salemba
Empat.
http://www.scribd.com/ladzah/d/44625628-Akuntansi-Keperilakuan-Sesi-2
http://sukmal.blogspot.com/2010/06/tinjauan-perspektif-akuntansi-terhadap.html
artikel bagus, enak dibaca dan mudah dipahami
BalasHapusIya, terima kasih.
BalasHapusthankyou...
BalasHapussangat membantu... :)
Terima kasih :)
BalasHapusterimakasih ya :) bantu bgt
BalasHapus